Semesta, aku bisa bilang apa?



Semesta, aku bisa bilang apa?
Jika yang kau tunjukan padaku mentah-mentah adalah realita paling nyata. Bahwa rasaku tak ada harganya. Bahwa inginku hanya kosong yang dijumawakan. Sesungguhnya semuanya biasa saja. Biasa saja. Hanya soal aku dan rasaku saja. Bukan rasa yang dia punya. Dia tak punya rasa. Dikatakan berkhianat pun tak bisa. Dia tak punya rasa. Dibagikannya kepada siapapun terserah saja. Terserah dia.

Lalu aku tertawa. Tertawa bersama semesta. Menertawakan rasaku yang tak terhingga nilainya. Rasa yang terlalu berharga untuk dibuang-buang. Rasa untuk siapa? 

Semesta kini senyap. Tak bisa bilang apa-apa. Bukan untuk siapa-siapa, katanya. Lalu aku bisa bilang apa? Kecuali menyimpan semua rasa yang kupunya untukku saja. Bukan untuk siapa-siapa, seperti kata semesta. Agar tak lagi disia-siakan, katanya. Agar harganya menjadi semakin mahal untuk kujumawakan, katanya. Karena rasa yang aku punya bukan rasa yang biasa saja. Terlalu tinggi nilainya. Kata semesta. 

Jadi...
Semesta, aku bisa bilang apa? Agar rasaku tetap begini. Agar getir tak lagi menguasai. Agar aku bisa kembali percaya bahwa rasa yang kupunya tak akan lagi dibuang orang. Agar aku tak lagi bimbang. Aku bisa bilang apa, semesta? Kecuali mengumpulkan sisa percayaku untukmu. Untuk mengatur ulang takdirku.

Semesta hanya tersenyum. Takdir tak untuk diatur ulang, katanya. Cuma waktu yang harus diselang, katanya. Aku diam. Mencerna apa kata semesta.

Lalu, aku bisa bilang apa?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Quarter Life Crisis: Antara Ambisi dan Realistis

Kebahagian Sederhana pada Satu Atap

Diri