Kebahagian Sederhana pada Satu Atap
Semua memori masa laluku tersimpan sangat apik nan indah dalam benakku. Ayah dan ibuku, mereka begitu hebat. Sosok yang membuat rangkuman hidup indah tanpa goresan luka yang ku ingat sampai detik ini. Sekalipun terdapat kesalahan kesalahan kecil yang pernah membuatku terluka. Akan tetapi, luka tersebut tidak pernah ku ingat di masa ini atau pun mendatang.
Di memoriku, masih tersimpan utuh tentang masa laluku. Hal itu berawal dari kelahiran bocah perempuan pertama yang menanti ayahnya terlebih dahulu pulang dari perantauan. Tepat saat ayahku selesai melakoni sholat Subuh. Tangisan bayi pun terdengar. Kalau yang cerita tadi, tentu aku tidak ingat. Hehe. Itu cerita menurut orang orang terdekatku yang menyaksikan kedatanganku di dunia.
Aku tumbuh menjadi bocah yang pendiam dan pemalu apabila berada dalam lingkup keluarga, namun begitu aktif ketika berada di sekeliling kawan kawanku. Aku tidak tahu, kenapa hal ini bisa terjadi. Setelah aku menginjak bangku sekolah, aku begitu senang. Ayahku, selalu mencoba keberanianku. Aku selalu di tantang ayahku untuk mengatakan hal hal yang baru kepada guruku di TK. Dan itu selalu ku lakukan. Bahkan, saat aku masih TK A. Aku sudah lancar membaca. Sehingga ayahku malah di kritik oleh guru TK ku. Sebab katanya hal itu belum waktunya. Ayahku mengajariku belajar dengan sangat semangat. Setiap seusai magrib, aku selalu di utus untuk belajar dengan di pandu ayahku dulu. Dan kebiasaan ini terus berjalan seiring bertambahnya usiaku. Aku selalu ingin membuka bukuku walaupun sedang tidak ada tugas tepat seusai magrib. Dan apabila tidak kulakukan, rasanya aku sangat tidak tenang.
Saat menginjak SD. Aku tetap pada prestasiku. Sebab, ayahku selalu marah ketika aku keluar dari zona aman 3 besar. Hingga pernah pada suatu hari. Nilai ku begitu turun, aku hingga takut pulang kerumah. Karena aku tahu, ayah akan marah besar. Aku dijalan menuju pulang, menangis sesegukan. Dan sesampai rumah, aku di semprot habis oleh ayahku. Sekalipun Mbah Yii ku membelaku, dan memarahi ayahku. Aku tetap saja dihukum untuk tidak keluar rumah. Ayah dan ibuku mendidikku begitu disiplin. Hingga membuat sebagian keluargaku sedikit memprotes mereka. Tapi hal ini kurasakan hasilnya setelah beberapa tahun.
Hingga akhirnya, munculah 2 malaikat kecil yang lahirnya hampir bersamaan. Ayahku merantau lagi setelah adikku genap beberapa bulan. Saat itu aku tepat kelas 4 SD. Dan kau tahu? Aku bersekolah dengan menggunakan sepedah dalam jarak kurang lebih 5km. Hal itu kulalui selama 3 tahun. Dan tidak ada temanku yang rumahnya sejauh aku. Sampai lulus dari SD pun, aku terbiasa mandiri dan harus mengurusi perlengkapan masuk ke sekolah baruku sendirian.
Adik adikku, memang tidak terlalu di didik dengan kedisiplinan. Hingga mereka jauh lebih susah di atur. Hal ini berjalan semestinya hingga saat ini usiaku genap 17 tahun dan aku sudah kelas 12 SMA. Ayahku, tidak lagi merantau. Beliau bekerja dirumah. Selama SMA, aku masih berada pada zona aman 3 besar. Tapi saat ini, yang ku lihat. Ayah dan ibuku tidak lagi bersemangat dengan prestasi prestasi yang telah ku torehkan. Mereka seakan akan menyesal. Pernah suatu hari, aku bertanya apakah aku di perbolehkan untuk melanjutkan sekolah? Beliau pun menolak.
Air mata ini tidak mampu ku tahan ketika kata kata penolakan itu muncul dari bibir mereka. Aku yang sangat senang sekali bersekolah dan mencari ilmu, harus di hadapkan dan terancam oleh suatu kenyataan yang begitu menghilangkan semangatku. Sejujurnya, yang ingin ku lakukan hanyalah mendobrakkan pintu bagi adik adikku dan keluargaku agar mampu keluar dari zona kehidupan ini. Kau tahu? Bagaimana anak pertama di lahirkan dan di tanggung jawabkan untuk apa? Hal itu lah yang selalu berkeliling dan berputar putar dalam benakku.
Semoga, Allah memberikan jalan yang baik dan terindah bagi hambanya yang memang benar benar berusaha. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar