Berpura pura
Berpura-pura selalu punya batas. Membohongi perasaan sendiri dan berasumsi bahwa segalanya baik-baik saja setelah kepergianmu. Masih ada sisa luka yang menganga di dalam dada. Masih ada sisa kata yang harus dimakamkan dari dalam kepala. Tidak ada yang baik-baik saja selama hujan menderas.
Dan air mataku, tak reda-reda.
Bermain dengan asumsi terkadang memang menyesakkan. Mencipta semesta dan membangun setiap harapan baik di dalamnya. Menyematkan namamu di setiap langitnya; hingga kala aku mendongakkan kepala, selalu ada namamu di sana—berdoa suatu hari nanti nama itu luruh dari langit dan resap ke dalam wajahku. Ketika itulah, aku akan menunjukkan kepadamu di hari bahagia kita.
Hari yang tidak pernah tiba.
Hari yang tidak pernah ada.
Bagaimanapun juga, asumsi tidak akan menolong apa pun. Tidak akan membawa langkahku hingga membuatmu mengetahuinya. Sehingga, dadaku yang paling tidak keruan. Kamu tidak salah apa-apa.
Namun, aku sadar, segara rasa yang kualirkan menujumu telah mengering. Tidak ada lagi apa-apa yang menjembatani perasaan kita. Dan, aku, terus berpura-pura untuk tetap tersenyum.
Persetan dengan perasaan. Berpura-pura ada batasnya. Namun, aku tidak pernah menahu, kapan aku harus berhenti berpura-pura.
Komentar
Posting Komentar